Siang itu aku duduk ditempat biasa
didepan kelasku. Bersama sahabat-sahabatku Della, Raya, dan Chaca. Kami melahap
bekal yang kami bawa. Sembari bercanda-canda dan memperhatikan seluruh penjuru
sekolah yang saat itu agak ramai karena tengah jam istirahat.
“Enak
banget Ray nasi goreng bawaanmu” seruku memuji dengan mulut yang masih sibuk
mengunyah. “Iya dong... Nenekku gitu loh.” Jawab Raya bangga. “Huh kirain kamu
yang buaaa...” Jawabku terpotong.
Mataku
tak berkedip, mulutku menganga, putaran kepalaku mengikuti langkah kakinya yang
berjalan dilorong kelas. Tinggi dengan perawakan kurus, berkulit hitam manis,
mata yang agak sipit, berhidung mancung, serta memiliki sedikit poni. Dalam
hatiku berkata, “Siapa dia?” Langkahnya begitu cepat membawa dirinya hilang
melewati tangga. Bukan, bukan langkahnya yang begitu cepat, tapi waktu yang
berputar begitu cepat. “Kringggg!!!” Bel berbunyi. Semua siswa berebut untuk
masuk ke kelas, tapi tidak dengan ku. Aku masih mematung dibawah pohon beringin
ini, seakan dia akan kembali turun dan melewati koridor ini.
“Bil
ayo masuk!” Seru Chaca sambil menepuk pundak ku. Aku terbangun dari lamunanku
dan segera masuk membuntuti Chaca ke dalam kelas. Tidak lama setelah aku duduk,
Bu Rina, guru matematika ku datang dan segera menjelaskan materi untuk aku dan
teman-temanku. Namun, pikiranku masih tertuju pada seribu pertanyaanku. Aku
mencoba menebak-nebak apa jawab dari tanyaku mengenai makhluk ciptaan Tuhan
yang begitu mempesona.
Lagi-lagi
bunyi bel membangunkan ku dari lamunan yang tak berujung ini. Della, Raya, dan
Chaca, sama halnya dengan murid lain, bersiap dan bergegas untuk segera pulang
ke rumah.
“Bil
nggak pulang?” tanya Chaca kepada ku sembari memasukan alat tulisnya ke dalam
tas. “Nggak Cha, mau disekolah dulu.” Jawab ku dengan senyum sumringah.
Chaca
mengernyitkan keningnya, tertulis jelas pertanyaan yang sangat mudah untuk
ditebak. “Hmm, Aku duluan deh Bil. Semoga berhasil ya misi rahasianya hahaha.
Dadah Nabila” ujar Chaca sembari
mencolek daguku, seakan-akan tahu mengenai misi khususku. “Iya Cha, hati-hati
ya” Jawabku tersipu.
Ketiga
sahabatku sudah pulang, Aku pun segera kebawah pohon beringin, mencoba
peruntungan untuk kedua kalinya. Satu jam, dua jam, dan tiga jam aku menunggunya. Berharap Ia akan kembali
melewati koridor depan kelasku. Tiga jam aku terduduk manis dibawah pohon
beringin ini, menahan rasa bosan dan merelakan waktuku terbuang sia-sia.
Akhirnya
aku menyerah, aku pun memutuskan untuk pulang kerumah. Mungkin ini hanya rasa
suka sesaat yang akan hilang, ya putaran jarum jam lah yang akan menghapusnya
perlahan.
“Ya
Allah, kenapa sampai sekarang masih terbayang wajahnya” batinku terheran-heran
dengan otakku yang tak mau lepas dari bayangan wajahnya yang begitu mempesona.
Ku kira seiring berjalannya waktu, bayangan itu akan terhapus, tapi sampai
kini, “7 hari” semenjak bayangannya hadir didalam hati dan pikiranku, aku belum
bisa menghapusnya dan belum bisa menemukan sosok nyatanya lagi. Aku sempat
memiliki pikiran bodoh, bahwa sebenarnya ia adalah malaikat yang dikirim Tuhan
untuk membuatku terlena akan keindahan dunia. Tapi mana mungkin ada malikat
yang tega membiarkan umatnya terjebak dalam ruang kebingungan yang begitu
menyikasa.
“AAAAAA!!!
BILA TELAT!!!” Aku terbangun dari mimpiku yang begitu sempurna, dimana ia
datang lalu duduk dihadapanku. Kami bercanda, tertawa bersama hingga aku enggan
untuk bangun dari mimpiku.
Aku
berlari menuju kelas. Peluhku menetes, nafasku terengah. Lagi-lagi karenanya.
Aku sudah terlanjur jatuh kedalam palung sosok sempurnanya.
“Ko
telat Bil? Tumben banget” Tanya Chaca bingung. “Kesiangan Cha. Ya ampun
gara-gara mimpi sempurna itu.” Jawabku masih terengah-engah. “Mimpi apa sih
memangnya? Pasti cowo yang waktu itu ya?” Kata Chaca sambil senyum-senyum ke
arah ku.
“Nabila,
Chaca jangan berisik!” perintah Bu Mumpuni yang seketika membuat kami diam lalu
melanjutkan belajar.
“Kring!!!”
Bel istirahat berbunyi. Sialnya aku lupa membawa bekal ku dan terpaksa makan
dikantin sendirian. Kantin memang sangat ramai, suasana kantin ini terasa aneh
untuk aku yang sangat jarang menginjak kantin dan bersosialisasi dengan anak
kelas lain. Sampai akhirnya aku memilih untuk makan roti bakar dan es
jeruk di sebuah kantin yang tidak begitu
ramai.
Baru separuh aku
melahap makanan ku, seseorang berbicara kepadaku “Permisi, meja ini kosong?
Boleh Aku duduk sini?”
Aku
kaget melihat apa yang ada dihadapan mataku. Kaku rasanya seluruh badan ini. Oh Tuhan akhirnya aku menemukan sosok nyata
itu, malaikat yang turun dari surga dan yang jatuh dari kayangan. Oh sungguh
betapa indah dirinya, lekuk wajahnya, kilau auranya, semua dari dirinya membuat
tubuh ku bergetar hebat.
“eh,
eh, iyy iya sssilahkan duduk. Kosong kok kursinya” Mulutku seolah tersihir
dengan dirinya yang begitu mempesona.
“Oke
thanks ya” jawabnya sambil memamerkan senyuman terindah.
“Oh
eh iii iya iya sama-sama” ingin rasanya aku memaki diriku sendiri yang tak
berkutik didepannya. Ya, mimpiku telah menjadi nyata, tapi aku tak bisa berbuat
apa-apa.
Kami
terdiam beberapa menit, menghabiskan makanan kami masing-masing. Sampai dia mengeluarkan
suaranya yang merupakan melodi terindah untukku “Hey nama ku Raka aku kelas
sepuluh lima, aku baru liat kamu. Memang aku yang jarang bergaul atau....”
“Aku
Nabila, tapi biasa di panggil Bila. Memang aku aja yang jarang keluar kelas
selain dibawah pohon beringin depan kelas ku, aku kelas X.10” jawabku sembari
berusaha tersenyum. Setidaknya perkenalan ini membuatku tidak segugup tadi.
Kami pun mengobrol banyak. Dia bercerita tentang hobinya bermain musik
terurtama gitar. Dia menceritakan banyak cerita menarik yang tidak pernah ku
lewatkan satu patah kata pun. Aku begitu tertarik padanya, dengan fisik dan sifatnya.
Aku begitu menyukainya.
“Wah
sudah bel ya Bill nggak terasa” ujarnya dengan tampang seakan-akan berat
meninggalkan ku. “Oh iya nanti pulang sekolah kita ngobrol-ngobrol lagi ya, aku
tunggu ya dibawah pohon beringin didepan kelas kamu.” Ujarnya lagi, tidak
memberiku kesempatan untuk menjawab.
Aku
pun tidak percaya dengan apa yang iya katakan, aku hanya mengangguk sambil
menyunggingkan senyuman tanda setuju. Bagaimana tidak, aku akan bertemu dengan
malaikat yang siap membawaku terbang ke surga khayal. Aku segera kembali ke
kelas dan belajar seperti biasa. Tapi entah mengapa waktu terasa berjalan sangattt
lama. Aku benci menunggu. Sampai akhirnya bel pulang pun berbunyi. Seperti janji, kami bertemu
dibawah pohon beringin.
Aku
dan Raka bercerita tentang banyak hal. Kami memang baru bertemu, tapi aku
merasa sangat cocok dengannya. Ah andai aku bisa memperlabat waktu, matahari ku
mohon jangan terlalu cepat melangkah. Aku masih ingin mendengar suaranya,
melihat wajahnya, dan menonton konser kecil yang Ia buat dari permainan gitar
dan lagunya. Oh malam, ayolah! Jangan pisahkan aku dengannya.
Waktu
pun terus berjalan, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi
hari, hingga bulan demi bulan. Aku dan Raka semakin dekat. Hingga aku sampai
hafal kebiasaannya. Hal paling manis yang paling ku suka adalah menelfon ku
setiap malam sebelum aku tidur untuk sekedar mengucapkan selamat malam. Kami
juga mempunyai kebiasaan baru yaitu menonton film setiap malam minggu dan belajar besama setiap sore sepulang sekolah dirumah ku. Raka juga memberi ku kejutan saat ulang tahunku, kue tar buuatannya dan gelang sederhana yang dibelinya di Paris. Kami juga suka ke toko buku atau ke taman setiap hari Minggu. Ya waktu
yang begitu sempurna.
“When
i see your face, there’s not a thing that i would change, cause you’re amazing,
just the way you’re” ia berhenti memetikkan senar gitarnya. Dia tersenyum
kearah ku, aku hanya tersipu malu menatapnya.
Masih
terbayang kata-kata Della beberapa hari yang lalu, “Kan kalian udah tiga bulan
lebih deket masa dia nggak nembak-nembak sih atau sekedar bilang suka gitu sama
kamu?” Untuk sekedar mengatakan suka, hampir setiap hari Raka melakukannya tapi
benar juga ya Della, mengapa dia tidak menjadikanku pacar. Atau memang aku saja
yang terlalu berharap.
“Bil,
Nabila!” seru Raka menyadarkan ku dari lamunanku. “Kamu kenapa? Ko akhir-akhir
ini sering melamun sih? Ada masalah ya? Cerita dong.” Kata Raka dengan muka
penasaran.
“Hmm
Raka nggak terasa ya sudah hampir tiga bulan kita dekat” Aku mencoba membicarakan
hal ini kepada Raka dengan bahasa ku. Aku menunggu respon Raka. Dia hanya diam
sambil menatap wajah ku, tiba-tiba air matanya menetes dari matanya yang indah,
ia lalu pergi tapa satu patah kata yang bisa ku jadikan jawaban.
Aku
tak mengerti dimana salahku, sampai tega Raka menghilang berhari-hari setelah
kajadian itu. Aku sudah berusaha mencari dia kekelas dan kerumahya tapi tiada
hasilnya. Bumi seakan menelan Raka dan dunianya dalam sekejap. Tak ada yag bisa
ku tanyai. Kemana aku harus pergi? Aku lelah, aku lelah mencari. Aku tak bisa
lagi menunggu sebuah harapan yang semu. Aku menyerah.
“Aku
dapat pesan dari keluarganya Raka, pesan ini harus disampaikan kepada kamu Bil.
Raka dirawat di rumah sakit cipto, dia diruang ICU Bil” Aku tertegun mendengar pesan Melisa yang memang sepupu Raka dan juga teman sekolahku. Setelah mendengar kabar
itu, sepulang sekolah aku segera menuju rumah sakit, secepat kilat ku kendarai
motor ku.
Badanku
lemas, kakiku bergetar, tubuhku nyaris tumbang. Aku menemuinya dengan banyak
alat yang terpasang ditubuhnya. Aku bahkan tak sanggup untuk menyapanya, Oh
Tuhan apa yang terjadi.
“Bila
jangan nangis dong! Jelek tau!” katanya dengan suara yang sangat pelan. Aku tak
sanggup menahan air mataku.
“Raka
kamu kenapa? Kenapa kamu nggak cerita sama aku? Kamu jahat biarin aku cari-cari
kamu, kamu jahat Raka!” Aku menangis dalam pelukannya. Terasa tangan lemahnya
mengelus rambutku. Aku mohon hentikan waktu, agar aku dapat memilikinya.
“Bila,
jangan nangis ya, kamu nggak boleh cengeng!” bisiknya padaku. Aku bangun dari
pelukannya. “Bil aku tau pasti kamu marah sama aku. Aku bukan nggak mau jadi
pacar kamu Bil, tapi aku nggak mau kamu terpaku sama aku. Aku kena leukimia
Bil, umurku nggak akan panjang. Raka sayang Bila” katanya dengan menyunggingkan
senyum terindah. Aku tak bisa berkata-kata, hanya air mata. Andai aku tahu ini
lebih awal, aku ingin membuatnya bahagia.
“Bila
baik-baik ya, nggak boleh nangis. Maaf ya Raka nggak bisa jaga Bila lagi. Maaf
kalau Raka nggak bisa mengabulkan permintaan Bila. Maaf ya atas semua kesalahan
Raka. Terima kasih Bila sudah mau menjadi perempuan pertama dan terakhir Raka.
Raka sayang Bila” Ia menghapus air mataku, lalu kembali menggenggam tanganku.
“Bila, Bila juga sayang Raka” jawabku terisak. Raka tersenyum, senyum yang sangat indah. Senyum yang akan ku lihat untuk terakhir kalinya.
Aku termenung disini, ingin kembali kuputar waktu saat
pertama aku bertemu dirinya, bermain dengannya, mendengar konser kecilnya, dan
berbagi keluh kesah dengannya. Tapi biarlah, biarlah Aku sendiri dibawah pohon
beringin ini. Menunggu waktu yang akan menyatukan kita kembali. Tuhan bahagiakan malaikatku, seperti Ia membuatku tersenyum, aku tak apa sendiri, meskipun berat asal Ia bahagia disana. Biar ku kenang
sendiri, ceritaku dan dia dibawah pohon beringin ini.